Rabu, 29 Februari 2012

bila. . .




Senandung duka
dari si malang yang terbuang

Senandung ratapan
dari si malang yang dicampakkan

Senandung jeritan
dari si malang yang terlupakan

Senandung penyesalan
dari si malang yang dikecewakan

Sepenggal cerita
dari si malang yang menderita

Sepenggal kisah
dari si malang yang sedang resah

Sepenggal peristiwa
dari si malang yang teraniaya

Sepenggal harapan
dari si malang yang merindukan sahabatnya yang hilang

Minggu, 26 Februari 2012

Oase



Rerumputan pun pasti melambaikan tangannya
pohon pun pasti menarikan tariannya
Pertanda bangga

Buat dia,
nyawa adalah mereka
yang lahir dari rahimnya
tanpa mengeluh akan pesakitannya
menjalani roda dunianya

Wanita berkulit gelap itu,
yang tiada letih melawan petir
yang dengan sekejap saja
mampu buyarkan semua karyanya

Wanita setia itu
yang selalu ku kecewakan
Wanita tegar itu
yang selalu ku patahkan semangatnya
Wanita mulia itu 
yang selalu ku lukai dengan nodaku

Telapak kakimu,
tempat ku meminta maaf
meminta restu
meminta surga

Masih pantaskah aku meminta surga itu?
Mama. . . .





Selasa, 21 Februari 2012

21021992



Ketika seorang anak manusia
menjadi insan mulia
Ketika kehidupan menyambutnya
dengan kehangatan


Hati melompat kegirangan
Melihat bunga bermekaran
Buah ranum, siap dipetik
Musim hujan pun menyirami tanah yang gersang

Lembar baru dimulai
Semangat baru dibakar
Dimulai dengan angka 20



Senin, 20 Februari 2012

Tuhan menjagamu


Langkah ini terlau sarat untuk melangkah
Mata ini terlau lelah memandang keindahanmu

Mungkin air mata terlalu murah
untuk menceritakan sebuah garis
Garis pemisah antara dinding hati kita
yang menghantam khayalanku bahwa diri inilah sahabatmu

Air mata ini mengalir mencari tempat dimana harus mengumpul
Mencari letak berartinya airmata
Kau memintaku membuangnya
jauh ke telaga. . .

Selamat melangkah tanpa kebersamaan lagi
Selamat menapak hidup tanpa tujuan bersama lagi
Biarlah Tuhan menjagamu
Menjaga puing-puing persahabatan kita



Minggu, 19 Februari 2012

Bunyi kaleng



Sesaat berjalan di keramaian kota
melihat kesibukan khalayak ramai
Sesaat menoleh ke samping
ada banyak mobil berlalu-lalang

Telinga merasakan kegetiran
bunyi kaleng yang memanggil
Ting, ting, ting
Tang, tang, tang

Siapa gerangan yang membunyikan?
Nurani bertanya-tanya
Dialah pembangkang matahari
Pemberontak hujan
Pejuang hidup

Bocah di perempatan lampu merah
Matanya meminta belas-kasih
Wajahnya meminta senyuman
Kalengnya membunyikan
Suaranya memilukan, serak
Tangannya meminta selembar alat tukar

Siapa yang peduli?
Siapa yang tersentuh?
Jawabannya kau yang tau

Sabtu, 18 Februari 2012

Indriani


Beragam warna pelangi
tak ubahnya dengan warna hati ini
sejak kau datang menjadi bidadari
penghias mimpi

Kau tebarkan senyuman termanismu
ditengah kegentingan gejolakku
Kau bisikkan kelembutan lewat suara indahmu
menenangkanku

Kau mengerti
saat dimana kau harus ada
Kau memahami
saat dimana kau harus pergi

Tak ada yang tersembunyi
tak ada kepura-puraan
Tak ada basa-basi
tak ada logika

Namun kita bahagia,
bersama sebagai sahabat
dalam suka dan duka
Terimakasih Indriani

Jumat, 17 Februari 2012

Rumah Kami

   Kau terpaku melihat tragedi yang ada didepan matamu. Entah kapan semua ini akan berakhir?
Ironisnya, tidak ada yang peduli dengan nasibmu dan mereka yang kau kasihi.
Dalam wujudmu, kau berpeluh, ada rasa getir yang selalu menyapamu. Kepiluan membuat airmatamu jatuh untuk kesekian kalinya. Kau hanya bisa berpasrah pada takdirmu. Si kecil yang malang.

   Hari sudah semakin larut. Malam pun menghampiri. Lelah rasanya, bersedih-pilu seharian. Saatnya untukmu beristirahat. Kau dan teman-teman seperjuanganmu masuk kedalam istana kalian. Sebuah lubang. Lubang derita. 

   Rasanya, pagi muncul dengan cepat. Kau sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi.
Takdirmu menyeru, kau hanya Si Kecil yang berada dibawah.
Tapi kau pikir, kau tak serendah itu. Kau yakin, kau bisa melakukan sesuatu yang luarbiasa.
Setidaknya untuk teman-teman serumahmu.
''Kau harus cepat, sebelum para polisi hutan itu datang dan memboyongmu ke penjara,''
ucap Fahmi, pria serakah yang tidak bertanggungjawab.

   Mereka terlihat cekatan menebang pohon-pohon di hutanmu.
Mereka seperti sudah terbiasa melakukan hal keji itu. Menebang pohon-pohon yang ada di hutan, kemudian menjualnya pada pengolah kayu tanpa melakukan reboisasi.
Mereka akan memperoleh banyak uang, berfoya-foya dan menikmati kehidupan mereka, sedang kau dan seluruh binatang di hutan menangis sejadi-jadinya atas tragedi ini.
Tertawa diatas penderitaan makhluk lain, itulah yang mereka lakukan.

  Kau tak sanggup melihat semua ini. Melihat burung-burung terbang tak tentu arah, si Kancil, ular, gajah, anjing liar, kambing hutan, semuanya.
Mereka terusik dengan ulah tangan-tangan manusia yang tidak bertanggungjawab.
Bahkan ada beberapa dari mereka yang terluka akibat terkena alat pemotong yang digunakan untuk menebang pohon. Kau tak boleh diam saja, teriak batinmu.
Segera, kau memanggil teman-temanmu untuk menggigit kaki manusia-manusia itu. Rombongan semut merah menyerang kaki mereka.
Mereka merintih kesakitan akibat gigitan itu.
Kau senang, kau berhasil menghentikan mereka. Walaupun untuk sesaat.
Karena ternyata mereka membawa racun yang dapat membunuhmu dan makhluk sejenismu.
Kau melihat mereka akan menyemprotkannya. Secepat mungkin, kalian berlari menghindarinya.
Namun sayangnya, ada beberapa temanmu yang tidak selamat. Mereka terkena racun kemudian mati tanpa meninggalkan jejak.

Andai Tuhan tau,
betapa kami sangat tersiksa
dengan ulah manusia 
yang perlahan membuat kami binasa
   Kupikir dengan akal sehat
   namun jiwaku berkata, ''Tuhan bantu kami!''

   Itu keluh-kesahmu yang tenggelam dalam hati. Tak mampu kau ucapkan, sebab betapa murkanya Tuhan mendengar keluhanmu.
Keluhan dari makhluk yang tak tau bersyukur sepertimu.

   Hutan sudah gundul dan gersang. Penghuni hutan berkelana entah kemana.
Mencari tempat untuk sejenak melepas lelah, atau mungkin mencari teman untuk bercerita tentang lara mereka. Berkeluh-kesah. Atau bahkan meminta bantuan.
Namun memang takdir berkata, bahwa kau, semut merah dan semua binatang di hutan hanyalah makhluk yang kastanya lebih rendah dari manusia.
Tak mungkin kalian dapat bercerita pada manusia.
Apalagi meminta pertolongan mereka.
Sungguh tak mungkin.